IMPLIKASI IBADAH PUASA DALAM MEMBINA KEPRIBADIAN UTAMA ~ Roli Abdul Rohman

.::Media Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar::.

IMPLIKASI IBADAH PUASA DALAM MEMBINA KEPRIBADIAN UTAMA

Oleh: Roli Abdul Rokhman ##

Ibadah Puasa dapat membentuk kepribadian, dan puncak pembentukan kepribadian adalah insan takwa. Inti takwa adalah menjaga diri agar tetap berada pada rambu-rambu ajaran agama dengan melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan. Dalam puasa orang di didik bahwa keridaan Allah itu lebih besar dari pada dunia seisinya.

Makna dan Orientasi Ibadah Puasa
Pemakaian kata puasa sesungguhnya merupakan terjemahan dari bahasa arab yaitu shoum. Secara harfiah berarti diam, menahan, berhenti dari sesuatu. Puasa [shoum] dalam ajaran Islam berarti menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan. Puasa merupakan usaha sungguh-sungguh  untuk menahan diri dari syahwat lahiriah, makan, minum, hubungan seksual, sekalipun suami istri dan sesuatu yang bersifat indrawi dan dari syahwat yang bersifat rohaniah
Menurut pendapat Al- Ghozali, puasa memiliki tujuan agar manusia berakhlak dengan akhlak Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Agung, yaitu contoh ketergantungan segala sesuatu kepada-Nya, dan sebisa mungkin mencontoh para malaikat di dalam menahan hawa nafsu, karena mereka adalah makhluk yang disucikan dari hawa nafsu.
Ibnu Qoyyim mengatakan bahwa puasa sangat manjur dalam memberikan perlindungan terhadap anggota badan bagian koordinasi dalam ia mencegah kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh timbunan materi yang sudah busuk. Ia mengusir macam-macam bakteri yang merusak kesehatan. Ia mengobati sakit yang berkembang dalam tubuh yang disebabkan oleh kekenyangan yang berlebihan. Puasa sangat berguna bagi kesehatan dan sangat membantu untuk dapat hidup sholeh dan takwa.
Kewajiban puasa dan takwa mempunyai hubungan yang penting dan strategis bagi manusia, yaitu puasa menjadi salah satu sarana yang bisa membentuk insan  muttaqin. Takwa mempunyai posisi yang sangat penting yang harus dimiliki oleh setiap umat Islam untuk dapat sukses menjalankan tugas sebagai hamba dan sebagai khalifah di muka bumi.  Takwa menunjukkan sebuah kepribadian yang benar-benar utuh dan integral (stabilitas) setelah melakukan amalan-amalan yang dianjurkan Allah diserap masuk kedalam diri manusia. Takwa lebih pada tataran empiris dari sekedar teoritis. Sebuah perbuatan dapat dikategorikan bernilai takwa apabila perbuatan itu mempunyai nilai dan makna dalam kontek sosial. Karena itu, menilai ketakwaan yang dimiliki seseorang bukan dinilai oleh dirinya sendiri, tetapi yang menilai adalah orang lain.
Ibadah puasa mempunyai dua dimensi penting yaitu : dimensi intrinsik  dan ekstrensik. Kedua dimensi tersebut adalah nilai-nilai yang menjadi tolok ukur keberhasilan ibadah puasa. Dimensi intrinsik  dapat membentuk tanggung jawab pribadi. Sedangkan dimensi ekstrensik dapat membentuk tanggung jawab sosial. Nilai instrinsik sebagai pelatihan diri menahan segala godaan yang dapat menggelincirkan godaan kepada dosa, pelatihan menahan kesabaran dan konsisten mengendalikan dorongan atas proses penyadaran akan adanya hikmah kemanusiaan yakni perasaan kemanusiaan akan derita menahan lapar.
Pelaksaan ibadah puasa adalah merupakan tanggung jawab setiap muslim untuk dilaksanakan dalam rangka mengharap keridaan Allah swt. Bila disimak dengan teliti, inti makna puasa sebagai pranata agama ialah menahan diri dari berbagai keinginan dan kepentingan. Puasa menurut tolak ukur Islam bukan dilakukan karena, orang tidak memiliki makanan, minuman ataupun pasangan dalam melakukan hubungan seksual.
Meskipun seluruh fasilitas tersebut tersedia sebagai milik yang sah, selama periode tertentu dalam menjalankan ibadah puasa, orang-orang yang menjadi pemilik dan penguasa fasilitas tersebut tidak diperkenankan memanfaatkannya. Alasan pelarangan penggunaan fasilitas tersebut menjadi rahasia bagi kita, karena Allah sama sekali tidak memberikan keterangan dalam bentuk apapun, pada hal saat barang-barang dari segi substansinya adalah halal dan baik menurut tinjauan manusia, sebagai bekal dalam melakukan berbagai aktivitas dan kehidupannya di alam semesta ini.
Kalau kita kaji dari berbagai ayat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, memang secara eksplisit Allah menegaskan bahwa, puasa itu harus dilakukan agar dapat menimbulkan rasa “Taqwa” sebagaimana ungkapan Al-Qur’an yang menyatakan “La’allakum tattaqun”, demikian juga lewat hadisnya Rasulullah memberikan penjelasan bahwa puasa biasa disamakan dengan “perisai” dan harus dijalankan dengan alasan iman saja tanpa menyandarkannya pada kepentingan dan maksud lain.
Dalam takwa terkandung pengendalian manusia akan dorongan emosinya dan penguasaan kecenderungan hawa nafsu manusia pada tingkah laku buruk, menyimpang, tercela, permusuhan dan kezaliman. Untuk itu manusia dituntut untuk bisa menahan hawa nafsu. Ini berarti ia memenuhi dorongan-dorongan itu dalam batas yang diperkenakan oleh ajaran agama. Selain itu terkandung perintah kepada manusia agar ia melakukan tindakan yang baik.
Orang-orang yang bertakwa mempunyai keutamaan yang mampu menghadapi berbagai persoalan hidup, mampu menghadapi saat-saat yang kritis, dapat mendobrak jalan-jalan yang buntu yang menghambat, dan bisa menerangi jalan ditengah kegelapan gulita. Dengan kata lain takwa membuktikan sebagai jalan keluar dari setiap persoalan dan situasi kritis.
Puasa merupakan salah satu perisai penting dalam Islam yang amalan-amalannya banyak takwa. Esensi dari takwa adalah untuk mengendalikan individu dan kelompok dari perilaku yang menyimpang, baik menyimpang dalam perilaku, pola pikir, ucapan maupun tindakan. Seseorang yang puasa pada hakekatnya sedang memperkokoh tali hubungan dengan Allah swt., jika manusia berusaha mempererat tali hubungan dengan Allah secara langsung, maka ingatan kita senantiasa terpancang kepada-Nya.
Kerangka berfikir ini yang sering menjadi bahan renungan penulis, dimana dalam kontek puasa, kita disuruh melakukan sesuatu kewajiban, tanpa tahu secara riil dan logis manfaat dan hasil kongkrit yang diperoleh setelah proses pelaksanaannya. Kita hanya diberikan petunjuk untuk melakukannya dengan percaya saja. Ini adalah suatu doktrin ketaatan pada suatu norma, aturan Islam yang harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, aktif sesuai dengan standar jumlah yang harus dipenuhi. Tertib sesuai dengan petunjuk pelaksaan ibadah puasa, baik dari segi waktu pelaksanana ataupun syarat rukunnya, demikian juga harus dilaksanakan secara ikhlas, dengan tolak ukur minimal bahwa apa yang dikerjakan adalah dalam rangka mengharap keridhaan Allah swt. dalam kehidupan di dunia dan akherat.
Sepengetahuan penulis, hingga saat ini belum pernah ditemukan penelitian yang dapat mendukung anggapan bahwa, berpuasa yang dilakukan selama tiga puluh hari dengan berbagai persiapan yang gegap gempita itu dapat berpengaruh terhadap perubahan sikap ke arah yang lebih sempurna dalam memahami kedha’ifan kaum dha’if yang ada di sekitar atau menjadi terbiasa menahan diri dalam berbagai keinginan dan kepentingan.
Sebagai seorang muslim, kita hanya yakin bahwa jiwa sosial dan menahan diri dari berbagai kepentingan dan keinginan adalah ciri dari manusia yang bertakwa, dimana dalam kontek kebangsaan, pengendalian diri sebagai pangkal tolak pengamalan pancasila. Dengan  demikian kita juga harus yakin bahwa puasa akan dapat menumbuhkan jiwa sosial dan mental yang tangguh untuk mengendalikan diri dari berbagai kepentingan dan keinginan. Kerangka berfikir inilah yang ingin penulis paparkan lebih luas dalam menganalisa pengaruh puasa dalam membentuk kedisiplinan utamanya kedisiplinan anak sekolah.

Puasa Sebagai Wahana Pendidikan
Ibadah puasa lebih banyak menekankan kesadaran dan keyakinan pelakunya dalam melaksanakan kewajiban dari Zat Yang Maha menentukan corak dan warna kehidupan manusia. Semua proses spekulatif dalam menjalankan ibadah puasa dari sudut simbolisme, pada hakekatnya tidak terlepas dari kehidupan manusia. Artinya melakukan ibadah puasa sebagai bentuk kepasrahan mutlak terhadap Allah swt. Karena itu orang tidak perlu mengetahui jawaban atas pertanyaan apa sebetulnya manfaat berpuasa, tetapi harus membulatkan tekad untuk melakukan puasa. Menurut pendapat Abu Su’ud; “puasa adalah salah sebuah simbol kepasrahan diri, suatu sikap yang menunjukkan adanya pemahaman yang tinggi terhadap sikap hubungan antara manusia dengan Tuhan.
   Apabila pendapat tersebut ditelaah dengan pendekatan kerangka berpikir Al-Qur’an, maka puncak hubungan antara Tuhan dengan manusia itu disifatkan oleh Allah dalam Al-Quran sebagai hubungan antar kekasih, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:“Katakanlah kalau kalian mencintai Allah, maka ikutlah Daku, Allah mencintai kalian, lalu memberi kalian ampunan, dan Allah itu memang Maha Pengampun dan Penyayang. (Q.S. Ali-Imron: 31)
Dari sinilah tampak adanya nilai pendidikan dalam ibadah puasa yang diajarkan oleh agama Islam. Dalam Islam puasa dinyatakan sebagai sarana pernyataan secara mutlak kepada Allah swt. hal ini disebabkan karena manusia menyadari betapa baiknya hubungan antara Allah dengan hambanya, sebagai hubungan Cinta Kasih yang akan dapat memberikan keberuntungan.
Bila kita renungkan dari penjelasan di atas akan semakin jelaslah pengaruh pelaksanaan ibadah puasa bagi pendidikan, dimana tidak dicari-cari bila dinyatakan bahwa, ada beberapa aspek lain dari perubahan sikap dan perilaku manusia, diantaranya dalam hal dispensasi menjelaskan puasa Allah menaruh sasaran perubahan sikap itu dalam aspek pemahaman (kognitif), yaitu,…”inkuntu ta’lamun”(al-Baqarah/2: 184). Setelah memberi tahu pentingnya bulan Ramadhan, bagi kelangsungan hidup umat manusia, karena Ramadhan itu merupakan bulan diturunkan Al-Qur’an, Allah menghendaki kita manusia untuk pandai bersyukur dengan jalan melakukan puasa setiap bulan Ramadhan datang, hal ini dinyatakan Allah dengan bahasa” La’alllakum tasykurun”( Al-Baqarah/2: 186).
Ketika Allah kembali menerangkan hakekat puasa, adalah berpantang, tidak boleh makan, tidak boleh minum tidak boleh  berhubungan dengan suami-istri, selama waktu menjalankan puasa, sekali lagi dalam kontek ini Allah menjelaskan dan mengharapkan kepasrahan mutlak dengan menyatakan ;”La’allakum tattaquun”( al-Baqarah/2: 187). Semakin jelas yang penulis paparkan, bahwa tiga macam sasaran bagi perubahan sikap yang dikehendaki oleh Allah dalam menjalankan ibadah puasa itu perinciannya adalah:
Pertama; perubahan sikap yang bersifat kognitif, yaitu ketika menerima informasi tentang seluk-beluk yang terkait dengan pelaksanaan ibadah puasa yang harus dijalankan oleh setiap muslim.
Kedua; perubahan sikap yang bersifat afektif yaitu ketika manusia mengetahui hakekat puasa adalah masa berpantang untuk mengendalikan dari dari berbagai kepentingan dan keinginan yang dilarang dalam menjalankan puasa, masa ini adalah  merupakan periode penggemblengan jiwa sosial dan mental jihat keagamaan.
Ketiga; perubahan yang dikehendaki oleh Allah itu berupa sikap yang bersifat kecenderungan untuk berbuat dengan melakukan puasa dibulan Ramadhan sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an.
Ketiga perubahan sikap tersebut merupakan hasil proses pendidikan yang dilakukan lewat puasa sebagai kewajiban beragama. Ibadah puasa merupakan perilaku Islami yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh setiap  muslim. Hal ini semakin jelas bahwa puasa sebagai sarana pendidikan dimana puasa diasumsikan memiliki kemampuan untuk merubah sifat seseorang ataupun anak yang sudah mumayis menjadi  mengetahui seluk-beluk yang terkait dengan puasa, merasa yakin akan kebenaran puasa sebagai perintah agama yang harus ditaati sebagai bukti kepatuhan dan kepasrahan., dan pernyataan syukur kepada Allah yang telah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup bagi kehidupan manusia menuju kesempurnaan hidup yang diridai oleh Allah di dunia dan di akherat.
Pandangan ini selaras dengan pendapat Mansur Abadi Zadiana yang menyatakan; “Puasa merupakan pendidikan bagi keutamaan akhlak dan memperkuat jiwa kebaikan  dan membiasakan manusia untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang rendah.” Setelah sebulan penuh orang beriman melakukan puasa untuk menjaga dan mengarahkan perasaannya, lidah, gharizahnya, solidaritasnya agar tidak terjatuh dalam keburukan dan penyelewengan yang merugikan. Karena itu pelaksanaan ibadah puasa harus dilakukan dengan dasar iman, ikhsan, ikhlash, dan tertib dan rajin (istiqamah).

Ibadah Puasa Membina Kedisiplinan
Sebagai mana dalam pembahasan yang sudah penulis paparkan, bahwa di dalam ajaran Islam ibadah puasa dilakukan untuk meninggikan kualitas manusia yang di dalam bahasa Al-Qur’an disitir dengan sebutan Takwa. Berdasarkan hal ini, maka puasa sangat berhubungan erat, dengan pemberdayaan sumber daya manusia yang telah menjadi trend decade komtemporer. Kalau kita berbicara mengenai kualitas manusia, maka cakrawala pandangnya menjadi sangat kompleks dan mendalam, demikian juga apa bila dikaitkan dengan kedisiplinan yang mempribadi pada diri seseorang. Namun demikian itu pun merupakan kaitan yang cukup sederhana dan mudah untuk dinalar bagi yang mau berpikir secara serius dan mendalam.
Logika yang penulis tawarkan mudah diterima, karena kualitas manusia yang ingin dibina melalui puasa ini tidak hanya dalam dimensi duniawi melainkan transendental, melampaui batasan ruang dan waktu. Secara simple dapat dikatakan bahwa kualitas manusia yang dikehendaki dalam paparan pemikiran ini tidak lain adalah kualitas manusia yang memiliki kemampuan dan kesediaan untuk menyerahkan dan menyadarkan hidupnya kepada kehendak Yang Maha Esa, atau disebut dengan Generasi yang memiliki kualitas tauhid secara utuh dan benar.
Bila kita cermati, kedisiplinan sangat berhubungan erat dengan masalah kehidupan manusia setiap harinya, dengan demikian lebih banyak menekankan ikhtiyari keduniaan. Menurut keyakinan penulis, sebagai suatu agama yang besar dan sempurna, agama Islam telah banyak memberikan pedoman dalam hal-hal yang menyangkut kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu tentunya kita yang ada di dalamnya, dapat menemukan pedoman kearah pembinaan dan peningkatan tingkat kedisiplinan hidup dalam keseharian. Islam telah mengajarkan kepada kita tentang persamaan bagi setiap orang dalam kehidupan, baik yang menyangkut hal hidup ataupun kewajiban hidup, sesuai dengan kualitas diri pribadinya.
Disebutkan dalam Al-Qur’an, bahwa “bagi Allah yang paling mulia di antara manusia adalah mereka yang paling bertaqwa” ( Q.S. Al- Hujurat ;13). Ini mengandung pengertian bahwa dalam pandangan Islam, tidak membedakan laki-laki, wanita, dewasa, anak-anak, suku, ras, kaya atau miskin dan sebagainya. Islam dalam kerangka berfikir ini benar-benar menyapa manusia secara individual yang menentukan hanyalah kualitas ketakwaan. Tolok ukurnya individu dalam mendisiplinkan diri pada berbagai perintah yang harus dilaksanakan dan larangan yang harus ditinggalkan, demikian juga yang mengetahui kualitas ketakwaan seseorang hanyalah Allah semata. Oleh karena itu manusia tidak berwenang untuk menghakimi tingkat kepatuhan dan kepasrahan seseorang dalam aktivitas ibadah.
Agama Islam menjunjung tinggi persamaan antara manusia dan warga masyarakat, demikian juga dalam Islam menjunjung tinggi kedisiplinan sebagaimana dalam surat Al-Insyiroh dinyatakan “  Maka apabila kamu telah selesai dari sesuatu urusan, kerjakanlah dengan sesungguhnya urusan yang  kepada Tuhanlah hendaknya kamu berharap” (Q.S. Al-Insyiroh : 7-8)
Pernyataan dalam Al-Qur’an inilah yang menyebabkan Islam merupakan agama yang progesif oleh karena ia mengajak pemeluknya untuk tuntas dengan baik apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab. Sekaligus mencari dan melakukan aktivitas ibadah yang lebih bermakna guna menggapai keridaan Allah swt. Dengan demikian menurut hemat penulis, orang Islam yang tidak memiliki kualitas amal dan ibadah, dengan kuantitas yang cukup, maka belumlah ia dikategorikan orang Islam yang baik.
Islam dan progesivitas kehidupan membawa kita pada pengertian bahwa Islam membawa kita kepada adanya ketertiban dan keteraturan dalam berbagai aktivitas, hal ini yang harus ditanamkan pada generasi kita semenjak dini. Hal ini jelas bahwa dalam Islam tidak menghendaki adanya kekacauan, penyelewengan dan kerusakan beserta perbuatan yang bersifat merusak. Inilah yang harus kita tanamkan kepada generasi kita agar benar-benar lurus dalam melakukan berbagai aktivitas dengan konsisten dan bertanggung jawab.
Dari sinilah sebenarnya muncul kesadaran bersama dari umat Islam untuk lebih mengedepankan kedisiplinan dan pembinaannya kepada generasi penerus dimasa mendatang. Kesadaran ini dilandaskan kepada kerangka berfikir dan kehendak ajaran Islam yang menghendaki adanya kedamaian, ketertiban dan keteraturan dalam berbagi aktivitas kehidupan terlebih lagi peribadatannya.
Akhirnya pemahaman ini kita tarik benang merah, bahwa pelaksanaan ibadah puasa dapat memberikan pengaruh terhadap pembinaan kedisiplinan orang yang menjalankannya. Demikian juga anak yang masih dalam proses pembinaan kedisiplinan, sehingga pada diri manusia utamanya anak akan tertanam kesadaran pada kedamaian, ketertiban, keteraturan dan keaktifan dalam berbagai proses dan aktivitas yang harus dijalaninya sesuai dengan aturan dan petunjuk yang harus dipenuhi dan ditaati.
Menurut pendapat Satjipto Raharja,  dalam makalahnya yang berjudul : Puasa Dan Pembinaan Disiplin Nasional : “ Puasa Memberikan Sahamnya Sendiri Terhadap Pembinaan Disiplin Nasional”. Bila ditelusuri dengan pemikiran yang jernih, statemen ini cukup menjadi referensi bagi kita karena sebagaimana pemaparan penulis pengendalian diri adalah merupakan tolak ukur kedisiplinan yang cukup sulit, untuk diterapkan. Dalam arti yang lebih dalam disiplin dapat berarti mengenyampingkan kepentingan diri sendiri, Islam menghendaki ketakwaan yaitu penyerahan diri setinggi-tingginya kepada kehendak Yang Maha Kuasa yaitu Allah. Ini adalah merupakan tuntutan berat bagi setiap muslim apalagi anak yang masih dalam proses pembinaan disiplin. Namun demikian berkat kesadaran orang tua dan keadaan lingkungan sekitar yang memiliki kultural Islam, anak yang masih lemah dan terbatas segala sesuatunya telah mampu menjalankan ibadah puasa sesuai dengan standar-standar.
Menurut Zakiah Darojat dalam bukunya Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental dinyatakan : “Kelakuan buruk terkutuk seseorang itu,  timbul dari dorongan hawa nafsu yang tidak terkendali. Alat pengendali diri yang paling ampuh adalah keimanan yang terjalin masuk kedalam kepribadian.”
Jelas sekali bahwa perilaku terkutuk timbul karena tidak adanya kontrol nafsu, oleh karena itu secara alamiah puasa akan menjadi pengendali diri dalam melakukan perilaku buruk dan terkutuk. Sebagaimana pernyataan yang dikemukakan H.M. Amien Rais; “Ibadah puasa akan dapat memberikan perisai atau benteng yang handal untuk menggapai rayuan keduniaan, seperti kata Nabi, “puasa dapat menjadi pemisah manusia dari neraka.” Dengan berpuasa seseorang akan memiliki kekuatan yang tangguh, sehingga dapat melindungi diri dari berbagai pengaruh nafsu yang buruk dan menyesatkan.
Dengan adanya benteng yang kokoh inilah, manusia akan mampu mengembangkan fitrah kemanusiaannya secara lebih baik dan sempurna. Menurut Ali Syariati dalam bukunya The Man Of Islam disebut sebagai Insan Kamil. Sosok manusia yang telah mampu menyeimbangkan pola kehidupan dunia dan akherat untuk mengemban misi rahmatan lil ‘alaamiin.
Dalam kaitannya dengan kesadaran mentaati aturan Hamka menegaskan: “Apabila puasa dikerjakan dengan penuh iman dan menghitung laba rugi rohani, terdidiklah diri menjauhi dosa. Beberapa pendapat dan ulasan di atas memberikan pemahaman yang jelas bagi kita, bahwa dengan menjalankan ibadah puasa, akan tertanam dalam diri kita, wawasan, mental dan kesadaran untuk mengendalikan diri dari berbagai perilaku yang tidak sesuai dengan tolak ukur hukum dan kehidupan dari berbagai aspeknya. Dengan demikian kesadaran untuk taat dan patuh terhadap aturan dan perintah yang membawa pada kemaslahatan akan semakin meningkat.
Dari paparan pemikiran diatas dapat disimpulkan tentang rasionalisasi pelaksanaan ibadah puasa dalam pembentukan kedisiplinan anak, yaitu dengan melaksanakan ibadah puasa secara tertib, aktif dan ikhlas akan tertanam jiwa patuh dan taat, karena anak telah terbiasa memenuhi aturan berpuasa sekalipun tidak ada yang mengontrol kecuali Allah Dengan demikian sikap tunduk patuh dan taat yang telah tertanam di dalam jiwa anak akan mempengaruhi perilaku anak dalam mematuhi peraturan dan tata tertib sekolah. Inilah bentuk kedisiplinan yang harus dipenuhi oleh anak yaitu, taat, patuh dan bertanggungjawab dalam mentaati perturan sekolah. Dan hendaknya menjadi perhatian bagi guru dan orangtua untuk membina dan mengembangkan sikap disiplin anak melalui ibadah puasa. Amiin.

Penulis adalah Wakil Sekretaris PDM Periode 2005-2010, sebagai anggota Dewan Redaksi Jurnal Dinamika

0 komentar:

Posting Komentar

 
Development by Fauns